Alfian
"Vensi, Arli, kesini sebentar"panggil pak Monse, dia adalah guru IPA di sekolah kami, rambutnya sudah memutih semua dan tubuhnya pun tambun, tetapi ilmu Fisikanya masih setajam silet.
"Ada apa pak?"tanyaku yang sudah berdiri dihadapan beliau, aku bicara dengan hormat dan sopan, beliau kan guruku
"Tolong belikan teh botol di warung bu Ameh"ujar pak Monse sembari memberikan uang kepadaku
"Iya baik pak"kata Arli, ini adalah kali pertama kalinya kami di perintah pak Monse untuk membeli sesuatu di warung. Tapi menurut keterangan dari orang yang sudah berpengalaman, pak Monse memang lebih suka membeli segala sesuatu untuk bahan konsumsinya di warung bu Ameh ketimbang di kantin sekolah.
Untuk mencapai warung tersebut tidak terlalu sulit, satu-satunya tantangan adalah harus memohon kepada satpam untuk dibolehkan keluar dari lingkungan sekolah, setelahnya langsung jalan ke utara dan hanya beberapa langkah saja sudah sampai.
Warung yang kami datangan ini kelihatan kecil, sempit, dan yang paling penting adalah bersih. Lagi-lagi menurut orang yang sudah berpengalaman, tempat ini memang kelihatannya tidak memiliki banyak pilihan makanan untuk dibeli, tapi pandangan tersebut salah karena apabila kamu bertanya "ada wafer bu?" jawabannya pasti "ada", bahkan akan ditambahi "mau yang tango, waffle atau top 1?".
"Ibu~ beli teh botol"kata Arli kepada si penjual gemuk yang memakai pakaian berwarna ungu bertumpuk dengan celemek berwarna kuning
"Mau yang dingin atau yang hangat?"tanya bu Ameh, kening kami berkerut dan kami saling pandang
"Teh botol ada yang hangat bu?"tanya Arli heran
"Ada dongse, disini kan lengkap"jawab bu Ameh, aku nyaris ngakak karena kalimat yang keluar dari mulut bu Ameh barusan mengingatkan aku dengan anak alay di twitter
"Bu Ameh kenal pak Monse kan?"tanyaku akhirnya
"Kenal bangedtz lah, beliau khan sering beli teh botol dingin di waroeng saia"sahut bu Ameh makin ngalay
"Nah, kita beli teh botol dingin"ujarku, dan Arli pun tersenyum kepadaku, mungkind ia kagum karena kepintaranku yang sudah berhasil membuat bu Ameh untuk menjawab pertanyaannya sendiri.
Ketika bu Ameh tengah sibuk mengambilkan pesanan kami, ada seorang pelanggan lain yang masuk ke warung itu. Gadis itu berseragam abstrak yang tidak jelas dia itu kelas berapa, yang jelas tubuhnya tidak lebih tinggi dariku, sangat kurus, dan rambutnya hitam kemerahan, bukan merah karena sinar matahari, melainkan karena keturunan genetik... bukannya aku kenal gadis itu lho, kelihatan sekali kalau rambutnya itu bukan hasil dari kepanasan, terlebih kulitnya yang putih dan wajahnya yang pucat sepertinya tidak akan tahan jika dia dijemur layaknya para paskibra yang sedang upacara.
Bu Ameh datang dan akupun segera membayar, namun ketika kami akan pergi, tanpa sengaja Arli menginjak sepatu gadis tak dikenal tadi, sebelum gadis itu sempat minta maaf, yang diinjak sudah nyolot duluan
""Apa apaan sih kalian! Dasar dua orang dekil nggak tau malu!"seru gadis itu galak, aku melongo mendengar suara yang nyaris seperti cicitan tikus itu membentak kami dengan kasar, kenal aja enggak, udah segitu nyolotnya dia
"Heh, kamu siapa sih songong banget jadi orang!"tukas Arli yang terpancing emosinya
"Nggak usah ngorek ngorek masalah pribadi aku!"bentak gadis itu, membuat emosiku ikut terpancing juga
"Kita nggak ngorek masalah pribadi kamu tau! Kalau nggak mau sebut nama yaudah"ujarku dengan nada tinggi "Siapa tahu nama kamu Jonot, Jontor, Jeder, atau apaan kek"
"Dasar nggak kreatif! nggarang nama jelek jelek gitu... pasti nama kamu Siti Agus! iyakan?!"tukas gadis itu sotoy
"Siti itu nama cewek, Agus itu nama cowok, mana bisa dijadiin satu gitu?! Emang aku androgini apa? Bego ah kamu!"seruku sewot, dan tanpa basa basi lagi aku segera menarik Arli untuk pergi dari tempat itu sebelum aku benar-benar memutilasi gadis itu. Tapi sebelum aku sempat beranjak pergi, gadis itu mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan, membuat aku tidak bisa melangkah pergi dan penasaran untuk mendengar kelanjutkan dari kisah gadis itu
"Namaku Alfian, aku adalah anak dari pak Monse, anak yang tidak diakuinya"itulah yang dikatakan oleh gadis berambut kemerahan itu, sementara yang mendengar hanyalah aku dan Arli tidak mendengar
"Ayo cepat"ajak Arli
"Kau duluan saja"kataku
"Kau mau bertengkar lagi dengannya?"tanya Arli heran
"Tidak, kau pergi saja duluan"ujarku sembari memberikan teh botol pesanan pak Monse kepada Arli, biarlah dia yang memberikannya dan aku akan tinggal disini sebentar lagi. Arli menurut dan pergi meninggalkanku, setelahnya Alfian mulai melanjutkan kisahnya
"Sampaikan pesanku padanya, katakan bahwa kau bertemu gadis bernama Alfian, katakan bahwa aku ingin membunuhnya, membunuh ayahku yang sudah mentelantarkan aku"ujar Alfian, gadis itupun tak berkata apapun lagi dan segera pergi dengan larinya yang amat cepat, aku tidak sanggup mengejarnya untuk meminta keterangan lebih lanjut, tapi sebaiknya aku segera mengatakan pesan yang Alfian sampaikan padaku kepada pak Monse.
~(*)~
"Pak Monse"panggilku ketika aku sudah sampai di tempat parkir, ini sudah waktu pulang sekolah dan aku baru selesai kumpul ekstrakurikuler musik. Aku kira pak Monse sudah pulang lebih dulu dan tidak mungkin aku mengatakannya hari ini, tapi ternyata beliau masih ada di sekolah dan ini baru akan pulang, tapi aku mencegahnya dan kini aku telah berdiri di hadapannya
"Maaf pak mengganggu, tapi aku mau tanya... apakah pak Monse kenal dengan gadis bernama Alfian?"tanya ku dengan terbata-bata, mata pak Monse terbelalak mendengar pertanyaanku itu, dan dia merespon dengan kalimat yang membuat aku juga terbelalak, bahkan aku mematung
"Kisah ini hanya aku ceritakan padamu, kau tidak boleh membicarakannya dengan siapapun"ujar pak Monse dengan wajah serius
"Ada sebuah rumah besar yang memiliki halaman yang luas dan penuh dengan tanaman langka. Rumah itu dihuni oleh seorang wanita kesepian. Suatu hari datang seorang pria yang meminta izin untuk meneliti tanaman langka di halaman rumah tersebut. Hingga pada hari penelitian selesia, si pria dilarang untuk pergi keluar dari rumah tersebut. Wanita itu menyekap si pria dan memaksa pria itu untuk menikahinya"kisah yang dikisahkan oleh pak Monse itu membuat aku ternganga, kisah itu bagaikan kisah dalam dongeng, namun kurasa ini adalah kisah nyata, karena pak Monse mulai berkaca-kaca
"Pernikahan itupun menghasilkan seorang anak. Ibunya meninggal ketika melahirkan anak itu. Dan ayahnya yang sudah tidak sanggup lagi tinggal di rumah itu membayar para pelayannya untuk mengabdi padanya selamanya untuk menjaga anaknya. Kemudian pria itu melarikan diri dan menemukan kehidupan baru, memiliki keluarga yang lebih normal, istri yang normal, anak yang normal, dan kini pria itu berdiri dihadapanmu"lanjut pak Monse "Anak itu tahu bahwa dia tidak di inginkan, maka dia menganggap duniapun tidak menginginkannya. Setiap hari dia belajar bermain pedang, berkelahi, memanah dan lainnya, tujuan hidupnya adalah membunuh ayahnya. Dan kini dia sudah mengetahui keberadaanku, dia akan segera membunuhku", tenggorokanku tercekat, aku tidak bisa bicara apa-apa lagi, sementara pak Monse naik keatas motornya dan dia mengendarai kendaraannya itu untuk pergi, ketika aku tersadar dan aku mengejar pak Monse
"TUNGGU PAK! AKU BISA MEMBANTU BAPAK JIKA BAPAK MAU MENCERITAKAN KISAH ITU LEBIH LANJUT"seruku sembari mengejar dan terus mengejar motor pak Monse, sementara sekolah sudah sepi dan hanya deru motor pak Monse dan suarakulah yang terdengar
"PAK MONSE KEMBALILAH! TOLONG PAK! JANGAN PERGI!"aku menjerit dan memohon, tapi pak Monse tidak memperdulikanku dan beliau sudah pergi, menghilang dari pandangan.
~(*)~
Sejak hari itu aku tidak pernah melihat pak Monse lagi. Seminggu setelah hari itu, pak Monse tidak berangkat mengajar karena sakit. Namun setelahnya beliau benar-benar tidak pernah berangkat lagi, hingga akhirnya aku mendengar kabar bahwa pak Monse telah menghilang, saat rumahnya didatangi rumah itu kosong.
Hingga hari ini, ketika aku berangkat lebih pagi dari yang lainnya, tiba-tiba ada sebuah panah melesat dan menancap di pintu kelasku, panah itu datang bersama sebuah surat, aku segera mengambil dan membacanya
Dear Vensi
Aku Alfian. telah membunuh ayahku, misiku sudah selesai. Aku tidak akan mengganggumu lagi, dan percayalah aku menyayangimu. Aku bukan musuhmu. Terima kasih untuk segalanya.
Aku membalikkan badan dan melihat seorang gadis berdiri diatas sana, dia melambai padaku, kemudian berlari menghilang. Tiba-tiba saja aku meneteskan air mata. Pak Monse. Aku akan selalu merindukannya.
-Trisapka
"Dasar nggak kreatif! nggarang nama jelek jelek gitu... pasti nama kamu Siti Agus! iyakan?!"tukas gadis itu sotoy
"Siti itu nama cewek, Agus itu nama cowok, mana bisa dijadiin satu gitu?! Emang aku androgini apa? Bego ah kamu!"seruku sewot, dan tanpa basa basi lagi aku segera menarik Arli untuk pergi dari tempat itu sebelum aku benar-benar memutilasi gadis itu. Tapi sebelum aku sempat beranjak pergi, gadis itu mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan, membuat aku tidak bisa melangkah pergi dan penasaran untuk mendengar kelanjutkan dari kisah gadis itu
"Namaku Alfian, aku adalah anak dari pak Monse, anak yang tidak diakuinya"itulah yang dikatakan oleh gadis berambut kemerahan itu, sementara yang mendengar hanyalah aku dan Arli tidak mendengar
"Ayo cepat"ajak Arli
"Kau duluan saja"kataku
"Kau mau bertengkar lagi dengannya?"tanya Arli heran
"Tidak, kau pergi saja duluan"ujarku sembari memberikan teh botol pesanan pak Monse kepada Arli, biarlah dia yang memberikannya dan aku akan tinggal disini sebentar lagi. Arli menurut dan pergi meninggalkanku, setelahnya Alfian mulai melanjutkan kisahnya
"Sampaikan pesanku padanya, katakan bahwa kau bertemu gadis bernama Alfian, katakan bahwa aku ingin membunuhnya, membunuh ayahku yang sudah mentelantarkan aku"ujar Alfian, gadis itupun tak berkata apapun lagi dan segera pergi dengan larinya yang amat cepat, aku tidak sanggup mengejarnya untuk meminta keterangan lebih lanjut, tapi sebaiknya aku segera mengatakan pesan yang Alfian sampaikan padaku kepada pak Monse.
~(*)~
"Pak Monse"panggilku ketika aku sudah sampai di tempat parkir, ini sudah waktu pulang sekolah dan aku baru selesai kumpul ekstrakurikuler musik. Aku kira pak Monse sudah pulang lebih dulu dan tidak mungkin aku mengatakannya hari ini, tapi ternyata beliau masih ada di sekolah dan ini baru akan pulang, tapi aku mencegahnya dan kini aku telah berdiri di hadapannya
"Maaf pak mengganggu, tapi aku mau tanya... apakah pak Monse kenal dengan gadis bernama Alfian?"tanya ku dengan terbata-bata, mata pak Monse terbelalak mendengar pertanyaanku itu, dan dia merespon dengan kalimat yang membuat aku juga terbelalak, bahkan aku mematung
"Kisah ini hanya aku ceritakan padamu, kau tidak boleh membicarakannya dengan siapapun"ujar pak Monse dengan wajah serius
"Ada sebuah rumah besar yang memiliki halaman yang luas dan penuh dengan tanaman langka. Rumah itu dihuni oleh seorang wanita kesepian. Suatu hari datang seorang pria yang meminta izin untuk meneliti tanaman langka di halaman rumah tersebut. Hingga pada hari penelitian selesia, si pria dilarang untuk pergi keluar dari rumah tersebut. Wanita itu menyekap si pria dan memaksa pria itu untuk menikahinya"kisah yang dikisahkan oleh pak Monse itu membuat aku ternganga, kisah itu bagaikan kisah dalam dongeng, namun kurasa ini adalah kisah nyata, karena pak Monse mulai berkaca-kaca
"Pernikahan itupun menghasilkan seorang anak. Ibunya meninggal ketika melahirkan anak itu. Dan ayahnya yang sudah tidak sanggup lagi tinggal di rumah itu membayar para pelayannya untuk mengabdi padanya selamanya untuk menjaga anaknya. Kemudian pria itu melarikan diri dan menemukan kehidupan baru, memiliki keluarga yang lebih normal, istri yang normal, anak yang normal, dan kini pria itu berdiri dihadapanmu"lanjut pak Monse "Anak itu tahu bahwa dia tidak di inginkan, maka dia menganggap duniapun tidak menginginkannya. Setiap hari dia belajar bermain pedang, berkelahi, memanah dan lainnya, tujuan hidupnya adalah membunuh ayahnya. Dan kini dia sudah mengetahui keberadaanku, dia akan segera membunuhku", tenggorokanku tercekat, aku tidak bisa bicara apa-apa lagi, sementara pak Monse naik keatas motornya dan dia mengendarai kendaraannya itu untuk pergi, ketika aku tersadar dan aku mengejar pak Monse
"TUNGGU PAK! AKU BISA MEMBANTU BAPAK JIKA BAPAK MAU MENCERITAKAN KISAH ITU LEBIH LANJUT"seruku sembari mengejar dan terus mengejar motor pak Monse, sementara sekolah sudah sepi dan hanya deru motor pak Monse dan suarakulah yang terdengar
"PAK MONSE KEMBALILAH! TOLONG PAK! JANGAN PERGI!"aku menjerit dan memohon, tapi pak Monse tidak memperdulikanku dan beliau sudah pergi, menghilang dari pandangan.
~(*)~
Sejak hari itu aku tidak pernah melihat pak Monse lagi. Seminggu setelah hari itu, pak Monse tidak berangkat mengajar karena sakit. Namun setelahnya beliau benar-benar tidak pernah berangkat lagi, hingga akhirnya aku mendengar kabar bahwa pak Monse telah menghilang, saat rumahnya didatangi rumah itu kosong.
Hingga hari ini, ketika aku berangkat lebih pagi dari yang lainnya, tiba-tiba ada sebuah panah melesat dan menancap di pintu kelasku, panah itu datang bersama sebuah surat, aku segera mengambil dan membacanya
Dear Vensi
Aku Alfian. telah membunuh ayahku, misiku sudah selesai. Aku tidak akan mengganggumu lagi, dan percayalah aku menyayangimu. Aku bukan musuhmu. Terima kasih untuk segalanya.
Aku membalikkan badan dan melihat seorang gadis berdiri diatas sana, dia melambai padaku, kemudian berlari menghilang. Tiba-tiba saja aku meneteskan air mata. Pak Monse. Aku akan selalu merindukannya.
-Trisapka
Comments
Post a Comment