Wanita Kedua
Note :
-Cerita ini merupakan karya asli Trisapka, apabila ada cerpen ini dimuat tanpa mencantumkan sumber asli/nama pengarang, mohon bantuannya untuk mengirim saya pemberitahuan.
-Mohon tidak mempublikasikan cerita ini ke laman/situs lain tanpa persetujuan penulis.
Seorang gadis yang dapat dibilang sempurna. Pintar, cantik, kaya, dan terkenal. Apapun yang diinginkannya dengan mudah didapatkan. Dia di sayangi oleh banyak orang, atasan, bawahan, teman, kerabat dan laki-laki idaman. Apakah kamu punya teman seperti itu?.
Aku punya, bahkan dia ada disampingku nyaris setiap saat. Ada yang pernah berkata padaku bahwa aku sebenarnya punya cahaya, tapi hanya sekuat bulan dan temanku itu sekuat matahari. Itulah kenapa aku tidak tampak, dan tidak akan pernah tampak jika aku tidak meninggalkannya.
Ada banyak yang aku inginkan, tapi tidak kudapatkan, justru dia. Aku sudah terbiasa seperti itu, berkali-kali dan tidak ada masalah besar bagiku. Tapi, kemudian aku tahu kalau aku tidak bisa begini selamanya, atau aku akan mati dalam keterpurukan. Haruskah aku meninggalkan dia?.
-**-
Aku memandangi cincin pertunanganku dengan seksama. Mata berlian kecil membalas pandanganku dengan kilau dari pancaran langit sore. Awan putih bergulung bergerak sesuai arah angin, perlahan mengantar sampai akhir hari.
"Hei, boleh aku tanya sesuatu?"tanya tunanganku, laki-laki yang telah menyematkan cincin ini di jariku kemarin saat acara pertunangan kami, setelah menjalani masa pacaran yang tidak begitu lama tapi pasti.
"Tentu saja"sahutku tanpa ragu, jemariku saling meremas, menenggelamkan cincin yang melingkar di jari manis dari pandangan.
"Sebelum menyukaiku, kamu pernah menyukai siapa saja?"tanya tunanganku, aku tidak tahu kenapa dia menanyakannya, tapi aku kira itu hanya pertanyaan biasa, hanya keingin tahuan yang sepele.
"Ada yang 4 tahun lebih tua dariku, setahun lebih tua dariku, seumuran denganku... yah, ada beberapa orang"jawabku, "Kamu sendiri?"
"Aku pernah menyukai sahabatmu"sahut tunanganku secara mengejutkan.
Pastilah gadis yang dapat dibilang sempurna itu. Aku terdiam untuk beberapa saat, befikir. Aku kira mungkin semua laki-laki pernah menyukai gadis itu. Siapa juga yang tidak akan suka dengan orang yang sempurna. Bahkan cantik berotak udangpun banyak yang memperebutkan, apalagi cantik dengan kepintaraan dan kekayaan.
"Lalu, kenapa kamu menyukai aku?"tanyaku kemudian, penuh dengan rasa takut menanyakannya, "Padahal, dia lebih pintar dariku, lebih cantik dariku, dan lebih baik dariku"
Tunanganku itu seperti merenung, aku bertanya-tanya apakah dia merasa menyesal telah bertunangan denganku? Apakah kini dia menyadari bahwa pilihannya jatuh padaku adalah hal yang salah.
"Karena, cuma kamu yang tahu perasaanku"jawabannya sama sekali tidak memuaskanku, maka aku mengajukan pertanyaan lagi.
"Kalau kamu bilang padanya pasti dia akan tahu kan"ujarku "Kalau kau tidak bilang padaku, aku juga tidak tahu"
"Iya, tapi aku merasa tidak akan berhasil dengannya"tepat.
Tanganku saling meremas dengan kuat, ada sesuatu yang menekan dadaku hingga sesak, mataku terasa mulai pedas padahal aku tidak sedang mengiris bawang merah. Mungkin sebentar lagi aku akan menangis, tapi aku tidak boleh menangis.
"Oh..."gumamku tak jelas.
"Ah, sudahlah... yang penting sekarang aku sudah ada yang punya"ujar tunanganku itu dengan sungginyam senyum dibibirnya. Miris, senyuman yang biasanya membuatku merasa tenang dan damai itu kini justru menyakiti aku lebih dari biasanya.
"Iya"aku ikut tersenyum bersamanya, tapi aku tahu pasti, senyumanku ini adalah senyum palsu.
Aku kemudian berdiri dan beranjak pergi, menaiki tangga pualam seanak demi seanak. Pintu coklat itu kubuka dan dia mengantarku menuju kamar. Aku menutup pintu, membiarkan aku sendirian disini untuk waktu yang lama, tak ingin diganggu oleh siapapun, termasuk oleh penghancur hatiku itu.
Aku memandangi cincin pertunanganku sekali lagi, dan melepaskannya dengan cepat, meletakannya di meja dan membiarkannya disana sementara aku melemparkan tubuhku keatas tempat tidur.
Aku teringat kepada mantan pacarku pernah melakukan hal yang sama. Dia bilang, dia pernah mencintai sahabatku. Bahkan, sekarang tunanganku sendiri berkata begitu, apa aku benar-benar tidak bernilai?.
Aku tahu betul, aku sudah menangis sekarang. Tunanganku salah besar, dia milikku atau bukan itu adalah hal yang tidak penting. Yang terpenting adalah hatinya. Pertunangan ini lebih baik digagalkan saja.
Pintu kamarku diketuk tepat ketika aku hendak keluar dan mengatakan padanya, untuk mengakhiri semuanya. Aku tidak langsung membuka pintu, aku melirik sekilas kepada cincin pertunangan yang segera aku pakai lagi, seakan aku tidak pernah meragukan statusku dengannya.
Membuka pintu, aku langsung berhadapan dengan tunanganku, wajahnya agak cemas atau lebih tepatnya merasa bersalah.
"Apa?"tanyaku dengan hambar, mungkin air kering dipipiku menjadi tanda yang jelas bahwa aku baru saja menangis, tapi, aku tidak terlalu peduli lagi dengan penampilanku. Tidak peduli lagi dengan kedok ku.
"Kamu marah?"tanya tunanganku.
Aku memejamkan mata sejenak untuk menekan kuat-kuat rasa sakit agar tidak terluap dari lidah. Kemudian aku mengangkat kelima jari tangan kananku kehadapan mukanya. Didepan matanya persis aku melepas cincin pertunangan di jari manisku, tangan kananku perlahan meraih tangan kanannya, membuka telapak tangan itu dan meletakkan cincinku disana.
"Lebih baik kita batalkan pertunangan ini"kataku dengan tegas, dia tidak sempat berkata apapun karena dengan cepat aku menghilang dibalik pintu kamar yang tertutup.
Pikirku, tunanganku tidak mencintaiku, jadi untuk apa semua ini dilanjutkan. Aku yang mengakhiri dan mungkin aku akan menyesal. Buktinya aku menangis dengan menutup telingaku. Aku mendengar laki-laki yang sudah menjadi mantan tunanganku itu mengetuk-ngetuk pintu kamarku dengan keras dan berusaha menjelaskan apapun yang sama sekali tidak ingin aku dengar lagi.
Inilah nasib menjadi seorang wanita kedua. Selalu menjadi pilihan kedua, bukan utama. Hanya karena aku sahabat dari sahabatku, mungkin mereka pikir aku adalah replika dari gadis sempurna itu.
Asal mereka tahu saja, aku bukan barang KW yang lebih murah daripada barang original. Aku bukan barang tiruan karena aku sama sekali tidak pernah meniru sahabatku itu. Aku jauh berbeda dari gadis itu, jadi jika laki-laki mencintai sahabatku, lebih baik dia jangan pernah mencoba mencintaiku atau dia akan menyesal. Dia akan menemukan jiwa yang jauh berbeda pada tubuhku ini. Karena aku bukan sahabatku.
Inilah nasib menjadi seorang wanita kedua. Selalu dipandang sebelah mata.
Aku bukan bulan yang menggantikan cahaya matahari ketika malam. Aku bukan barang pengganti. Dan aku tidak mau lagi menjadi wanita kedua.
"Tidak bisakah dia memberi tahuku, kalau dia bersamaku sekarang karena dia mencintaiku?"desisku kepada diri sendiri, "Kenapa dia harus bilang kalau dia memilihku karena dia tahu dia tidak bisa bersama dengan sahabatku yang sempurna itu?".
Aku menangis lebih deras lagi.
-Trisapka
-Mohon tidak mempublikasikan cerita ini ke laman/situs lain tanpa persetujuan penulis.
Seorang gadis yang dapat dibilang sempurna. Pintar, cantik, kaya, dan terkenal. Apapun yang diinginkannya dengan mudah didapatkan. Dia di sayangi oleh banyak orang, atasan, bawahan, teman, kerabat dan laki-laki idaman. Apakah kamu punya teman seperti itu?.
Aku punya, bahkan dia ada disampingku nyaris setiap saat. Ada yang pernah berkata padaku bahwa aku sebenarnya punya cahaya, tapi hanya sekuat bulan dan temanku itu sekuat matahari. Itulah kenapa aku tidak tampak, dan tidak akan pernah tampak jika aku tidak meninggalkannya.
Ada banyak yang aku inginkan, tapi tidak kudapatkan, justru dia. Aku sudah terbiasa seperti itu, berkali-kali dan tidak ada masalah besar bagiku. Tapi, kemudian aku tahu kalau aku tidak bisa begini selamanya, atau aku akan mati dalam keterpurukan. Haruskah aku meninggalkan dia?.
-**-
Aku memandangi cincin pertunanganku dengan seksama. Mata berlian kecil membalas pandanganku dengan kilau dari pancaran langit sore. Awan putih bergulung bergerak sesuai arah angin, perlahan mengantar sampai akhir hari.
"Hei, boleh aku tanya sesuatu?"tanya tunanganku, laki-laki yang telah menyematkan cincin ini di jariku kemarin saat acara pertunangan kami, setelah menjalani masa pacaran yang tidak begitu lama tapi pasti.
"Tentu saja"sahutku tanpa ragu, jemariku saling meremas, menenggelamkan cincin yang melingkar di jari manis dari pandangan.
"Sebelum menyukaiku, kamu pernah menyukai siapa saja?"tanya tunanganku, aku tidak tahu kenapa dia menanyakannya, tapi aku kira itu hanya pertanyaan biasa, hanya keingin tahuan yang sepele.
"Ada yang 4 tahun lebih tua dariku, setahun lebih tua dariku, seumuran denganku... yah, ada beberapa orang"jawabku, "Kamu sendiri?"
"Aku pernah menyukai sahabatmu"sahut tunanganku secara mengejutkan.
Pastilah gadis yang dapat dibilang sempurna itu. Aku terdiam untuk beberapa saat, befikir. Aku kira mungkin semua laki-laki pernah menyukai gadis itu. Siapa juga yang tidak akan suka dengan orang yang sempurna. Bahkan cantik berotak udangpun banyak yang memperebutkan, apalagi cantik dengan kepintaraan dan kekayaan.
"Lalu, kenapa kamu menyukai aku?"tanyaku kemudian, penuh dengan rasa takut menanyakannya, "Padahal, dia lebih pintar dariku, lebih cantik dariku, dan lebih baik dariku"
Tunanganku itu seperti merenung, aku bertanya-tanya apakah dia merasa menyesal telah bertunangan denganku? Apakah kini dia menyadari bahwa pilihannya jatuh padaku adalah hal yang salah.
"Karena, cuma kamu yang tahu perasaanku"jawabannya sama sekali tidak memuaskanku, maka aku mengajukan pertanyaan lagi.
"Kalau kamu bilang padanya pasti dia akan tahu kan"ujarku "Kalau kau tidak bilang padaku, aku juga tidak tahu"
"Iya, tapi aku merasa tidak akan berhasil dengannya"tepat.
Tanganku saling meremas dengan kuat, ada sesuatu yang menekan dadaku hingga sesak, mataku terasa mulai pedas padahal aku tidak sedang mengiris bawang merah. Mungkin sebentar lagi aku akan menangis, tapi aku tidak boleh menangis.
"Oh..."gumamku tak jelas.
"Ah, sudahlah... yang penting sekarang aku sudah ada yang punya"ujar tunanganku itu dengan sungginyam senyum dibibirnya. Miris, senyuman yang biasanya membuatku merasa tenang dan damai itu kini justru menyakiti aku lebih dari biasanya.
"Iya"aku ikut tersenyum bersamanya, tapi aku tahu pasti, senyumanku ini adalah senyum palsu.
Aku kemudian berdiri dan beranjak pergi, menaiki tangga pualam seanak demi seanak. Pintu coklat itu kubuka dan dia mengantarku menuju kamar. Aku menutup pintu, membiarkan aku sendirian disini untuk waktu yang lama, tak ingin diganggu oleh siapapun, termasuk oleh penghancur hatiku itu.
Aku memandangi cincin pertunanganku sekali lagi, dan melepaskannya dengan cepat, meletakannya di meja dan membiarkannya disana sementara aku melemparkan tubuhku keatas tempat tidur.
Aku teringat kepada mantan pacarku pernah melakukan hal yang sama. Dia bilang, dia pernah mencintai sahabatku. Bahkan, sekarang tunanganku sendiri berkata begitu, apa aku benar-benar tidak bernilai?.
Aku tahu betul, aku sudah menangis sekarang. Tunanganku salah besar, dia milikku atau bukan itu adalah hal yang tidak penting. Yang terpenting adalah hatinya. Pertunangan ini lebih baik digagalkan saja.
Pintu kamarku diketuk tepat ketika aku hendak keluar dan mengatakan padanya, untuk mengakhiri semuanya. Aku tidak langsung membuka pintu, aku melirik sekilas kepada cincin pertunangan yang segera aku pakai lagi, seakan aku tidak pernah meragukan statusku dengannya.
Membuka pintu, aku langsung berhadapan dengan tunanganku, wajahnya agak cemas atau lebih tepatnya merasa bersalah.
"Apa?"tanyaku dengan hambar, mungkin air kering dipipiku menjadi tanda yang jelas bahwa aku baru saja menangis, tapi, aku tidak terlalu peduli lagi dengan penampilanku. Tidak peduli lagi dengan kedok ku.
"Kamu marah?"tanya tunanganku.
Aku memejamkan mata sejenak untuk menekan kuat-kuat rasa sakit agar tidak terluap dari lidah. Kemudian aku mengangkat kelima jari tangan kananku kehadapan mukanya. Didepan matanya persis aku melepas cincin pertunangan di jari manisku, tangan kananku perlahan meraih tangan kanannya, membuka telapak tangan itu dan meletakkan cincinku disana.
"Lebih baik kita batalkan pertunangan ini"kataku dengan tegas, dia tidak sempat berkata apapun karena dengan cepat aku menghilang dibalik pintu kamar yang tertutup.
Pikirku, tunanganku tidak mencintaiku, jadi untuk apa semua ini dilanjutkan. Aku yang mengakhiri dan mungkin aku akan menyesal. Buktinya aku menangis dengan menutup telingaku. Aku mendengar laki-laki yang sudah menjadi mantan tunanganku itu mengetuk-ngetuk pintu kamarku dengan keras dan berusaha menjelaskan apapun yang sama sekali tidak ingin aku dengar lagi.
Inilah nasib menjadi seorang wanita kedua. Selalu menjadi pilihan kedua, bukan utama. Hanya karena aku sahabat dari sahabatku, mungkin mereka pikir aku adalah replika dari gadis sempurna itu.
Asal mereka tahu saja, aku bukan barang KW yang lebih murah daripada barang original. Aku bukan barang tiruan karena aku sama sekali tidak pernah meniru sahabatku itu. Aku jauh berbeda dari gadis itu, jadi jika laki-laki mencintai sahabatku, lebih baik dia jangan pernah mencoba mencintaiku atau dia akan menyesal. Dia akan menemukan jiwa yang jauh berbeda pada tubuhku ini. Karena aku bukan sahabatku.
Inilah nasib menjadi seorang wanita kedua. Selalu dipandang sebelah mata.
Aku bukan bulan yang menggantikan cahaya matahari ketika malam. Aku bukan barang pengganti. Dan aku tidak mau lagi menjadi wanita kedua.
"Tidak bisakah dia memberi tahuku, kalau dia bersamaku sekarang karena dia mencintaiku?"desisku kepada diri sendiri, "Kenapa dia harus bilang kalau dia memilihku karena dia tahu dia tidak bisa bersama dengan sahabatku yang sempurna itu?".
Aku menangis lebih deras lagi.
-Trisapka
Comments
Post a Comment